Tanggung Jawab Dakwah

Oleh: TIM STID DI AL-HIKMAH


“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”. (QS. Al Ahzab: 72)

Tugas dan tanggung jawab adalah tuntutan kehidupan yang tak bisa dielakan. Manusia yang brilian tidak akan pernah lari darinya. Sekalipun ia amat melelahkan dan banyak bahkan kadang lebih banyak dari waktu yang tersedia. Malah tanggung jawab itu sering tidak dapat dituntaskan sehingga perlu dilanjutkan oleh yang lain. Karena ia datang terus menerus seiring berjalannya waktu. Semakin bergulir semakin banyak tugas dan tanggung jawab yang mesti dipikul. Ia muncul dan terus muncul sesuai dengan tuntutan zamannya. Terlebih lagi tanggung jawab terhadap dakwah (mas’uliyatud da’wah).

Seorang pendaki gunung pernah berujar, ‘Naik gunung itu amat melelahkan, berat dan cape. Akan tetapi bila sudah sampai di puncak maka kita akan merasakan nikmatnya berada di puncak gunung. Namun bila kita lengah maka akan menjadi mara bahaya sebab banyak jurang yang dalam yang siap menelan kita’. Ungkapan ini bila dikaitkan dengan perjalanan dakwah memiliki kemiripan. Ketika perjalanan dakwah ini meniti jalan kemenangannya terasa memang berat dan melelahkan. Akan tetapi di saat mencapai cita-citanya ada rasa senang dan sekaligus perasaan galau lantaran beratnya memikul amanah dan tanggung jawab yang jauh lebih besar lagi. Taruhannya adalah kekuatan mengemban amanah dan kepercayaan umat. Bila gagal maka gelembung manusia yang berhimpun itu akan lari meninggalkan barisan dakwah ini.
Sekalipun tanggung jawab selalu datang namun kader dakwah tidaklah boleh mengeluh dan kecewa terhadapnya. Kader harus selalu memandang bahwa tanggung jawab merupakan sesuatu yang dapat memuliakan dirinya. Meski ia kesulitan untuk memikulnya. Sehingga bila telah selesai menunaikan satu tanggung jawabnya maka ia perlu menyiapkan diri untuk segera melaksanakan tugas barunya. Sebagaimana firman Allah SWT. ‘Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain”. (QS. Al Insyirah: 7).

Hari-hari kemarin yang telah kita lalui sudah kita pergunakan untuk memperlebar jaringan dakwah. Agar umat manusia banyak berhimpun di jalan yang mulia ini. Telah banyak upaya yang kita lakukan, mulai dari diri sendiri, keluarga, tetangga hingga kalangan yang lebih luas. Dengan kerja yang berkesinambungan dalam rangka mempertahankan eksistensi dakwah ini maka Allah SWT. anugerahkan kasih saying-Nya pada mereka yang aktif mengemban tugas tersebut. Tampak oleh kita banyak hati manusia yang tertarik, simpatik dan energik memberikan dukungannya pada dakwah ini.

Dari banyaknya manusia yang berhimpun dalam dakwah ini tentu mengandung tugas dan tanggung jawab yang berat. Dan ini bagian dari manuver dakwah yang harus difollow-upi dengan selalu menjaga perluasan jaringan dakwah ini (Ri’ayah Munawaratud Da’awiyah). Adapun bentuk upaya menjaganya adalah:


1. Mentarbiyah masyarakat luas (Tarbiyah Jamahiriyah)

Kita telah menyaksikan bahwa masyarakat memberikan dukungan yang luar biasa baik dari dukungan materi, pikiran, tenaga dan politik. Dukungan dari beragam lapisan mulai masyarakat perkotaan hingga pedesaan, masyarakat terdidik hingga yang buta huruf, dari kalangan santri yang shalih hingga anak gaul di pinggir jalan. Hal tersebut merupakan indikasi bahwa mereka pun ingin menjadi bagian dari dakwah ini. Malah ada yang merasa sudah menjadi salah satu bagian dari dakwah ini.

Realita dukungan ini harus dipandang bahwa masyarakat yang berhimpun itu mesti mendapatkan hak tarbawiyahnya sebagaimana yang didapat para kader. Sekalipun yang telah mereka rasakan selama ini baru sebatas sentuhan awal. Tentunya mereka pun ingin mendapatkan pembinaan yang bisa membentuk diri mereka menjadi kader sejati sesuai dengan kondisi mereka masing-masing. Sehingga mereka dapat bergabung lebih dalam bersama kader lainnya. Agar ia menjadi bagian dakwah yang besar ini walau hanya satu elemen kecil saja.

Adapun bentuk tanggung jawab dakwah dan kadernya pada mereka adalah melakukan tarbiyah kepada masyarakat luas atau pembinaan massal (tarbiyah jamahiriyah) dengan perlu menyesuaikan muatan dan arahannya. Apakah dengan melakukannya dalam bentuk tarbiyah regular atau secara massal dengan melaksanakan taklim rutin yang diikuti oleh sekian banyak orang.

2. Peningkatan Kualitas Kader (Tarqiyah Nau’iyatul Jundiyah)

Semakin banyak tugas maka semakin perlu meningkatkan kualitas dan kapabilitas agar dapat menunaikan amanah itu dengan sebaik-baiknya. Abul Hasan An Nadawi dalam kitab Mudzakiratu Sa’ihin fil ‘Alamil Arab menyatakan bahwa sudah menjadi keharusan untuk membentuk kader-kader yang dapat meneruskan dan menjalankan tugas tanggung jawab dakwah dengan meningkatkan kemampuan kader agar bisa mengisi peluang-peluang dakwah yang amat banyak.

Karena setiap gerakan dakwah betapapun kuatnya dan betapapun banyak kader-kadernya masih tetap terancam kebangkrutan. Mengingat berlalunya waktu maka semakin bertambahnya tanggung jawab yang mesti dipikul segera. Sehingga menjadi sebuah aksioma bahwa kemampuan kader untuk menunaikan tanggung jawab harus diimbangi dengan peningkatan diri mereka sesuai dengan tuntutannya masing-masing. Sebagaimana kaedah dakwah, li kulli da’watin marhalatuha, wa likulli marhalatin muthallibatuha, wa lukulli muthallibatin rijaluha. Setiap dakwah ada marhalahnya, setiap marhalah ada tuntutannya, dan setiap tuntutan ada orangnya yang akan mengerjakannya.

Sangatla lumrah orang banyak memberikan berkomentar terhadap kader yang ada saat ini dengan menyatakan ‘apa mungkin orang-orang mesjid itu mampu mengelola urusan besar ini (mengelola Negara)’. Anggapan ini bermula dari aktivitas kader yang berawal dari mengelola sebatas dari satu majelis taklim ke majelis taklim lainnya, dari satu kegiatan keagamaan ke kegiatan keagamaan lainnya. Dan sekarang tanggung jawab itu melebih aktivitas sebelumnya. Tugas dan kewajiban yang bakal dipikul bebannya jauh lebih berat dari hari-hari yang kemarin. Maka tidak bisa dielakkan bahwa kemampuan harus kader bisa memenuhi kebutuhan lapangan yang amat beragam di hari ini. Keahlian dan kecakapan mereka menjadi tahurannya untuk meraih dukungan yang lebih besar lagi.

3. Penyegaran Aktifitas Tarbiyah (In’asy ‘Amalit Tarbawiyah)

Setelah beberapa saat aktivitas tarbiyah belum berjalan optimal karena kesibukan dakwah yang begitu banyak. Dan hal ini merupakan bagian dari siklus ekspansi dakwah yang besar. Dimana kesibukan kader dakwah melebihi volume kesibukannya di waktu yang lain. Sehingga sedikit banyak aktivitas tarbiyah yang regular mengalami sedikit gangguan. Bila hal ini dibiarkan berlarut-larut maka akan berdampak pada kelambanan geliat dakwah dan gerakannya. Apalagi sudah dimafhumi bahwa tarbiyah merupakan munthalaknya. Seorang penyair Tunis, Ahmad Mukhtar Al Wazi, menyatakan ‘wain wanat waqfatuha ‘ajalahal munthalaqu, bila diamnya terlalu lama akankah ia tergugah oleh keharusanya bergerak’.

Maka perjalanan tarbiyah yang menjadi pijakan asasiyah mesti berjalan normal dan segar kembali. Melalui berbagai aktivitas tarbiyah yang reguler. Seperti liqa’ pekanan rutin, mabit, tatsqif, daurah dan lain-lainnya. Oleh karena itu mereka yang berkepentingan dalam menormalkan dan menyegarkan aktivitas tarbiyah ini harus berada pada pusat intruksional agar dapat menggerakkan dengan sesegera mungkin dan membunyikan peluitnya dengan keras. Baik mereka itu para murabbi, naqib atau mereka yang berada dalam jajaran struktural.
Hal ini tentu menjadi antisipasi yang dini agar tidak terjadi situasi yang cenderung memburuk dengan ‘mengabaikan’ iklim asasi dalam dakwah ini. Syaikh Mushtafa Mahsyur Rahimahullah, mengingatkan agar aktivitas perpolitikan ini jangan mengalahkan dan mendominasi dari pada aktivitas tarbawiyah, ghalabatis siyasiyah at tarbawiyah.

4. Pengokohan interaksi pada tokoh (Taqwiyah Ittishalil Wujahiyah)

Begitu banyak para tokoh yang telah terjalin hubungan sosial kemasyarakatannya dengan dakwah ini melalui silaturahim dengan mereka atau menjadikan mereka bagian dari rekruting dakwah ini. Sudah barang tentu mereka juga ingin bahwa hubungan itu tidak berhenti hanya karena aktivitas menggalang massa telah usai melainkan mereka sangat mengharapkan bahwa jalinan itu bisa lebih erat lagi dari waktu sebelumnya.

Islam tentu sudah mengajarkan bagaimana mensikapi para tokoh di tengah-tengah masyarakatnya dengan memuliakan mereka. Sehingga mereka pun dapat menerima ajakan dan seruan yang ditujukan padanya karena kedudukan mereka pun dihormati dan dihargai. RAsulullah SAW. tatkala menaklukan Mekkah, beliau mengatakan ‘siapa yang masuk ke mesjid maka aman. Dan siapa yang menutup pintu rumahnya maka ia aman dan siapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan maka ia pun aman’.

Pernyataan itu jelas menampakkan bahwa ajaran Islam tetap memandang bahwa para tokoh itu mempunyai kedudukan yang perlu ditempatkan secara pas dan tepat. Dan ini menjadi pelunak hati mereka untuk ikut dalam barisan dakwah ini. Karenanya pendekatan para tokoh yang pernah dilakukan pada hari-hari kemarin harus dikokohkan kembali sehingga mereka mendukung dakwah ini secara optimal. Apalagi bila para tokoh itu memiliki perasaan bahwa merekapun telah memberikan andil yang teramat besar dalam pemenangan dakwah ini.


5. Soliditas struktural (Matanah Tanzhimiyah)

Aktivitas yang padat sering berimbas pada ketahanan struktural. Terlebih lagi struktur yang masih sangat sederhana. Kesederhanaan fungsi dan bagan struktural kadang menciptakan aktivis berfungsi ganda atau bahkan multi fungsi. Sehingga banyak kamar-kamar struktur yang tak terisi apalagi terisi lengkap. Ditambah persoalan bahwa program yang sedang digerakkan bersama bertumpu pada satu program besar sehingga beberapa unsure dari struktural itu ikut berkonsentrasi pula pada kerja massal. Sehingga kadang yang terjadi adalah ‘mengesampingkan’ tugas-tugas regulernya. Dan bila hal ini dibiarkan maka dapat berdampak pada perjalanan struktural yang termehek-mehek.

Mengingat peran struktural untuk menjalankan agenda berikutnya yang juga besar maka ketahanan soliditas struktural ini tidak bisa ditunda lagi. Ia perlu diperhatikan seksama agar dapat mengokohkan kader yang ada didalamnya disertai pemberdayaan struktural dalam tugas-tugas besar berikutnya. Baik struktur pada tingkat pusat juga pada tingkatan di bawahnya. Dengan demikian langkah-langkah struktural dapat bergerak dengan lincah dan leluasa mengemban tugas dakwah besar lainnya.

Disamping pengokohan struktural juga perlu diperhatiak masalah pengembangannya. Sebab dengan tanggung jawab yang semakin besar maka dibutuhkan penopang struktural yang semakin lengkap. Imam Mawardi, penulis Al Ahkamus Sulthaniyah memaparkan bahwa semenjak futuhat-futuhat dakwah dicapai kaum muslimin pada masa Khalifah Umar ibnul Khaththab berkembang pula jajaran struktur yang baru dengan segala dinamika dan urusannya yang pada masa lalu tidak ditemukan persoalan tersebut.

Itulah sebagian kecil dari tanggung jawab dakwah yang besar ini. Paling tidak dari situ kita dapat memulai apa yang perlu kita lakukan. Untuk merealisasikan (Tahqiq) tanggung jawab yang besar ini diperlukan upaya kerja keras yang maksimal, diantaranya adalah:

Pertama, Bersungguh-sungguh dan tekun (Al Jiddiyah wal Mu’azhibah). Kesungguhan adalah modal utama untuk dapat menunaikan setiap tugas. Dan kesungguhan merupakan indikasi dari sikap yang penuh tanggung jawab. Ia pun cerminan dari keimanan dan keyakinan yang kuat akan pertemuannya dengan Sang Rabbul Izzati. Sehingga melahirkan perilaku siap dan sedia menunaikan suatu tugas yang diamanahkan kepadanya. Dari sinilah akan diukur seberapa besar kesiapan dan kesediaan yang berdampak pada kepuasan masyarakat akan pelayanan dan penunaian tanggung jawab tersebut.

Bila melihat sederetan tugas-tugas tersebut diatas maka kita temukan bahwa tugas tersebut betul-betul tidak sepele. Tugas dan tanggung jawab itu tidak boleh dianggap main-main. Apalagi harapan yang dimiliki banyak orang teramat tinggi. Mereka berharap bahwa kader dakwah pasti dapat memikul tugas itu dan dapat memberikan pengaruh kebaikan yang dirasakan oleh umat.

Kedua, Aktivitas yang berkesinambungan (Istimrariyatul Amal). Karena waktu senantiasa berjalan tak kenal henti maka amalpun tak boleh berhenti. Memang suatu tugas dikira sudah selesai namun ternyata masih ada setumpuk tugas lainnya yang sedang menunggu untuk diselesaikan. Gambaran yang sering diungkapkan orang adalah bergeraknya amal ini bagai deburan ombak di lautan yang datang silih berganti dengan deburan ombak lainnya kadang ombak besar kadang ombak kecil. Bila amal tersebut dilakukan bak ombak tadi niscaya amal datang susul menyusul dan tidak akan pernah mati. Oleh kreatifitas amal perlu digesahkan kepada seluruh lapisan kader. Sehingga mereka bisa menciptakan berbagai amal yang variatif.

Ketiga, Kedisiplinan terhadap Manhaj (Indhibatul Manhajiyah). Manhaj merupakan rambu perjalanan dakwah ini. Ia bagaikan denah yang menunjukan arah dan apa yang mesti dilakukan. Karena itu setelah selesainya satu tugas perlu melihat kembali apa yang telah digariskan oleh manhaj dakwah tentang tugas-tugas kedepan. Bila terkait dengan tarbiyah maka ia perlu diterapkan secara disiplin sesuai arahannya. Sebagaimana petun juk Allah SWT. kepada Nabi Yahya AS. “Hai Yahya, ambillah Al Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh. Dan Kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak”. (QS. Maryam: 12). Tentunya hal ini juga berlaku kepada seluruh kader untuk menerapkan tuntutan manhaj secara disiplin. Sehingga ia dapat menghantarkan perjalanan dakwah ini dari satu mihwar ke mihwar lainnya dengan sistematis.

Keempat, Keteladanan dan Arahan (Al Qudwah wat Taujih). Komunitas suatu masyarakat kadang akan mudah terbentuk bila memiliki cermin jernih yang menjadi panutan bagi yang lain. Karena panutan bagai mercusuar yang akan mengarahkan dan juga menjadi ukuran atau kiblat mereka. Disinilah pentingnya keteladanan antara satu dengan yang lain. Keteladanan dalam ubudiyah, ijtima’iyah, mu’amalah maupun keteladanan dalam amal siyasi. Tentu keteladanan yang dimaksud adalah bahwa seluruh kader menjadi contoh bagi yang lain. Apalagi seluruh elemen masyarakat menjadi penilainya. Mereka tentu ingin panutannya bagai cermin jernih tanpa goresan.

Sekarang ini persoalannya adalah siapkah kader dakwah ini memikul tanggung jawab yang amat besar itu. Wallahu ‘alam bishshawab.
“Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada orang yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang membutuhkan (Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu (ini)”. (QS. Muhammad: 38).

MEMBANGUN PRIBADI PANTANG MENYERAH

Oleh : Habib Salim Al Muhdar, MA.
Dosen STID DI AL-HIKMAH Jakarta

"Barang siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki ataupun perempuan dalam keadaan beriman, niscaya Kami hidupkan dia dengan kehidupan yang baik dan Kami balasi mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. An-Nahl: 97).

Allah telah menciptakan alam dan isinya berpasang-pasangan, sehingga melahirkan hukum tarik menarik antara satu dengan yang lainnya. Artinya kondisi alam ini akan selalu dinamis sesuai dengan kehendak-Nya. Begitu juga halnya dengan kehidupan manusia, akan mengalami rotasi (perputaran) antara dibawah-di atas; sukses-tidak sukses; bahagia-susah, dll. Begitu juga dengan iman kita. Iman bisa datang dan pergi, naik dan turun.

Ibnu Mas'ud mengatakan, "Sesungguhnya jiwa manusia itu mempunyai saat dimana ia ingin beribadah dan ada saat dimana enggan beribadah." Diantara dua keadaan itulah manusia menjalani kehidupan ini. Dan diantara dua keadaan itu pula nasib manusia ditentukan. Dalam arti lain, semakin seseorang berada dalam iman yang rendah, maka besar kemungkinan dalam kondisi ini akan mengakhiri hidupnya. Demikian sebaliknya, jika seseorang semakin sering berada pada kondisi iman yang tinggi, maka semakin besar peluangnya memperoleh akhir kehidupan yang baik. Pertanyaannya, bagaimana cara mewujudkan kondisi pribadi yang berujung kebaikan, pribadi yang pantang menyerah tersebut?

Pribadi pantang menyerah (tangguh) adalah tidak lain sebutan bagi pribadi yang tidak merasa lemah terhadap sesuatu yang terjadi dan menimpanya. Pribadinya menganggap sesuatu yang terjadi itu dari segi positifnya. Ia yakin betul bahwa sekenario Allah itu tidak akan meleset sedikit pun. Pribadi pantang menyerah dan tangguh ini, tidak lain adalah pribadi yang memiliki kemampuan untuk bersyukur apabila ia mendapat sesuatu yang berkaitan dengan kebahagiaan, kesuksesan, mendapat rezeki, dll. Sebaliknya, jika ia mendapati sesuatu yang tidak diharapkannya, entah itu berupa kesedihan, kegagalan, mendapat bala bencana, dll., maka ia memiliki ketahanan untuk selalu bersabar. Dan pribadi seperti ini memposisikan setiap kejadian yang menimpanya adalah atas ijin dan kehendak Allah. Ia pasrah dan selalu berusaha untuk bangkit dengan cara mengambil pelajaran dari setiap kejadian tersebut.

Pribadi pantang menyerah ini bukan saja semata-mata dilihat secara fisik. Tetapi lebih-lebih dan yang lebih penting justru adanya sifat positif dalam jiwanya yang begitu tangguh dan kuat. Seseorang menjadi kuat, pada dasarnya karena mentalnya kuat. Seseorang menjadi lemah, karena mentalnya lemah. Begitu juga, seseorang sukses, karena ia memiliki keinginan untuk sukses. Dan seseorang gagal, karena ia berbuat gagal. Dalam hal ini, ada hadist Nabi yang menyebutkan bahwa: "Orang mukmin yang kuat lebih disukai dan lebih baik dari mukmin yang lemah." Jadi, manusia tangguh dan kuat itu, sudah seharusnya menjadi cita-cita kita dalam rangka mengabdi kepada Allah.

Dalam konteks ini, dapat disebutkan bahwa kesuksesan menurut pandangan Alquran itu memiliki dua syarat pokok. Yakni iman dan ilmu (QS. 58: 11). Kedua hal ini, kalau kita kaji secara rinci, jelas-jelas memiliki pengaruh sangat besar dalam kehidupan manusia. Dengan kuatnya iman seseorang, maka ia akan sangat berpengaruh terhadap kualitas kehidupan manusia. Menurut M. Ridwan IR Lubis (1985), ada tiga pengaruh iman tersebut, yaitu berupa: kekuatan berpikir (quwatul idraak), kekuatan fisik (quwatul jismi), dan kekuatan ruh (quwatur ruuh). Sedangkan menurut M. Yunan Nasution (1976), mengungkapkan pengaruh iman terhadap kehidupan manusia itu berupa: iman akan melenyapkan kepercayaan kepada kekuasaan benda; menanamkan semangat berani menghadapi maut; membentuk ketentraman jiwa; dan membentuk kehidupan yang baik.

Untuk mencapai dampak dari kekuatan iman itu, kuncinya terletak pada pribadi kita masing-masing. Dan kalau kita cermati, sebenarnya pembentukan sifat pribadi pantang menyerah dan tangguh ini adalah berawal dari sifat optimisme yang menyelimuti pola pikir orang tersebut. Menyikapi keadaan seperti saat ini, kita seharusnya tidak menjadi pesimis dan berserah diri. Kita harus optimis dan selalu berusaha untuk mencapai yang terbaik dalam hidup ini. Sehingga untuk menjadikan pribadi pantang menyerah dan tangguh ini, maka dalam diri kita harus tertanam sikap optimis, berpikir positif, dan percaya diri.

Setiap manusia harus memiliki optimisme dalam menjalani kehidupan ini. Dengan sikap optimis, langkah kita akan tegar menghadapi setiap cobaan dan menatap masa depan penuh dengan keyakinan terhadap Sang Pencipta. Karena garis kehidupan setiap manusia sudah ditentukan-Nya. Tugas kita adalah hanya berusaha, berpikir dan berdoa agar sesuai dengan ridho-Nya. Setelah kita mampu bersikap optimis, lalu pola pikir kita juga harus dibiasakan berpikir secara positif dan percaya diri. Berpikir positif kepada siapa?

Pertama, berpikir positif kepada Allah. Setiap kejadian, peristiwa dan fenomena kehidupan ini pasti ada sebab musababnya. Tugas kita, hanya berpikir dan membaca. Ada apa dibalik semua itu? Lalu, kita mengambil pelajaran dari kejadian itu dan selanjutnya mengamalkan yang baiknya dalam perilaku keseharian.

Kedua, berpikir positif terhadap diri sendiri. Setiap manusia, dilahirkan sebagai pribadi yang unik. Karena bagaimanapun wajah dan sifat kita mirip dengan orang lain. Tapi, yang jelas ada saja perbedaan antara keduanya. Sifat dan pribadi unik itu, harus kita jaga. Itu adalah potensi positif, modal dasar untuk mencapai keleluasaan langkah kita menuju ridho-Nya. Bagaimana orang lain akan menjunjung kita, kalau diri kita sendiri meremehkan dan tidak "mengangkatnya". Selain itu, kita juga harus yakin bahwa kita dilahirkan ke dunia ini sebagai sang juara, the best. Fakta membuktikan, dari berjuta-juta sel sperma yang disemprotkan Bapak kita, tetapi ternyata yang mampu menembus dinding telur Ibu kita dan dibuahi, hanya satu. Itulah kita, "sang juara". Hal ini, kalau kita sadari akan menjadi sebuah motivasi luar biasa dalam menjalani hidup ini.

Ketiga, berpikir positif pada orang lain. Orang lain itu, manusia biasa sama dengan kita. Dia mempunyai kesalahan dan kekhilafan. Yang tentu hati nuraninya tidak menghendakinya. Pandanglah, orang lain itu dari sisi positifnya saja dan menerima sisi negatifnya sebagai pelajaran bagi kita. Belajarlah dari seekor burung Garuda. Ia mengajarkan anaknya untuk terbang dari tempat yang tinggi dan menjatuhkannya. Lalu jatuh, diangkat lagi dan seterusnya sampai ia bisa terbang sendiri. Hati Garuda juga bersih, tidak mendendam. Ia kalau waktunya bermain "cakar-cakaran". Tapi, kalau diluar itu ia akur, damai kembali.

Keempat, berpikir positif pada waktu. Setiap manusia diberi waktu yang sama, dimana pun dia berada. Sebanyak 24 jam sehari atau 86.400 detik sehari. Waktu itu, ingin kita apakan? Kita gunakan untuk tidur seharian, kerja keras, mengeluh, berdemontrasi, bergunjing, santai, menuntut ilmu, menolong orang lain, melamun, ibadah, dan lainnya. Waktu itu tidak akan protes. Yang jelas, setiap detik hidup kita akan diminta pertanggung jawabannya kelak, di hadapan Allah SWT. Bagi mereka yang biasa mengisi waktunya dengan amal-amalan saleh dan berada dalam keimanan, maka ia akan memperoleh kehidupan yang lebih baik.

Allah berfirman, yang artinya:
"Barang siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki ataupun perempuan dalam keadaan beriman, niscaya Kami hidupkan dia dengan kehidupan yang baik dan Kami balasi mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (QS. An-Nahl: 97).

Untuk memaksimalkan sikap positif pada diri seseorang, lebih-lebih sebagai pembentuk pribadi yang pantang menyerah, tangguh, "tahan banting", sabar dan istiqomah pada jalan-Nya. Tentu perlu dibangun pula dengan kebiasaan positif. Semoga tulisan ini menjadi bahan penilaian terhadap diri kita sendiri, terutama kaitannya dengan keinginan pembentukan pribadi yang pantang menyerah. Dan kita berdoa, semoga Allah memberi kemampuan terhadap kita untuk membangun pribadi yang tangguh dan pantang menyerah sesuai tuntutan-Nya. Amin.
Wallahu a'lam.

wasiat syeh asyahid abdullah azzam

Oleh Habib Salim Sholeh Al Muhdhor, MA. Dosen STID DI AL-HIKMAH

Wahai Para Da'i Islam! Carilah kematian niscaya anda akan dikaruniai kehidupan. Janganlah anda sampai tertipu oleh angan-angan kalian. Janganlah anda sampai tertipu oleh buku-buku yang anda baca dan amalan-amalan sunnah yang anda lakukan sehingga anda melupakan kewajiban besar. Wahai Para Ulama Islam! Majulah kalian untuk memimpin generasi yang ingin kembali kepada Rabb-nya ini. Janganlah kalian cenderung kepada kehidupan dunia. Wahai Kaum Muslimin! Telah lama kalian tidur nyenyak, sehingga kerusakan merajalela di negeri kalian. Wahai Kaum Wanita! Jauhilah kehidupan mewah dan megah karena kemewahan itu musuh disamping akan merusak jiwa manusia. Hindarilah barang-barang yang tidak terlalu penting dan cukupkanlah dengan kebutuhan-kebutuhan primer. Binalah anak-anak kalian untuk menjadi orang yang berani dan siap berjihad. Tanamkanlah pada jiwa anak-anak kalian cinta Jihad dan perjuangan. Hiduplah dengan penuh perhatian terhadap problematika kaum Muslimin. Biasakanlah paling tidak sehari dalam sepekan hidup menyerupai kehidupan kaum Muhajirin dan Mujahidin yang hanya memakan sekerat roti kering dan beberapa teguk air. Wahai Anak-Anak! Jauhkanlah diri kalian dari bualan lagu-lagu dan musik-musik orang-orang pengumbar nafsu. Jauhkanlah punggung kalian dari kasur orang-orang yang hidup bemewah-mewahan. Wahai Ummu Muhammad! (Istri Abdullah Azzam) Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan sebanyak-banyaknya atas apa yang telah engkau lakukan kepadaku dan kepada kaum Muslimin. Engkau telah bersabar hidup bersamaku setelah sekian lama merasakan manis pahitnya kehidupan. Engkau telah memberikan dukungan yang sangat berarti bagiku untuk berjalan di atas perjalanan yang penuh berkah ini dalam berjuang di medan Jihad. Ke atas pundakmulah aku serahkan tanggung jawab keluarga pada tahun 1969, ketika kita baru mempunyai dua anak dan seorang bayi. Engkau hidup dalam sebuah kamar kecil yang terbuat dari tanah liat, tanpa dapur dan alat pemanas (untuk menghadapi musim dingin). Kemudian aku serahkan ke atas pundakmu segala urusan rumah tangga ketika beban semakin berat, keluarga semakin bertambah, anak-anak bertambah besar dan tamu-tamu bertambah banyak, tetapi engkau tetap tabah menghadapi semuanya. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan sebanyak-banyaknya atas apa yang telah engkau lakukan untukku. Sesungguhnya kehidupan jihad adalah kehidupan yang paling lezat. Kesabaran menghadapi kesulitan lebih manis daripada hidup bergemilang kemewahan dan kemegahan. Pertahankanlah hidup zuhud niscaya Allah mencintaimu, dan janganlah engkau menginginkan apa yang ada di tangan orang lain, niscaya mereka akan mencintaimu. Al-Quran adalah kenikmatan dan teman hidup. Bangun malam, shiam sunnah dan istighfar di waktu pagi akan membuat hati menjadi bersih dan menjadikan engkau merasakan manisnya ibadah. Bertemanlah dengan wanita-wanita shalihah, tidak berambisi kepada kehidupan dunia dan menjauhi kemewahan dan cinta dunia, akan memberikan ketenangan hati. Semoga Allah mempertemukan dan menghimpun kita di Surga Firdaus, sebagaimana Allah menghimpun kita di dunia. Wahai Kalian Anak-Anakku! Sesungguhnya kalian tidak mendapatkan perhatianku kecuali sedikit. Kalian tidak memperoleh pembinaan dariku kecuali sedikit. Ya, aku tidak memberikan perhatian kepada kalian. Tetapi apa yang dapat aku lakukan sementara malapetaka terhadap kaum Muslimin membuat orang hamil melahirkan kandungannya dan musibah yang menimpa Umat Islam membuat rambut bayi-bayi beruban. Demi Allah, aku tidak kuasa hidup tenang sementara api malapetaka membakar hati kaum Muslimin. Aku tidak rela hidup di tengah-tengah kalian menikmati hidangan lezat. Demi Allah, sejak dulu aku membenci kemewahan, baik dalam pakaian, makanan ataupun tempat tinggal. Aku berusaha mengangkat kalian ke tingkat orang-orang zuhud dan aku jauhkan kalian dari lumpur kemewahan. Aku wasiatkan kepada kalian agar berpegang teguh kepada Aqidah Salaf (Ahlussunnah wal-Jama'ah) . Jauhkanlah diri kalian dari sikap berlebih-lebihan. Baca dan hafalkanlah Al-Quran. Jagalah lisan, bangunlah malam, lakukanlah puasa sunnah, bergaul-lah dengan orang-orang baik, aktiflah bersama gerakan Islam. Aku wasiatkan kepada kalian wahai anak-anakku agar kalian ta’at pada ibu kalian dan menghormati saudara-saudara perempuan kalian (Ummul Hasan dan Ummul Yahya). Carilah ilmu syar'i yang bermanfaat. Ta’atilah saudara kalian yang terbesar (Muhammad) dan hormatilah dia. Aku wasiatkan kalian agar saling mencintai sesama kalian. Berbuat baiklah kepada nenek dan kakek kalian (Ummu Faiz dan Ummu Muhammad), karena keduanya-lah, setelah Allah, banyak berjasa baik kepadaku. Sambunglah hubungan keluarga kita dan berbuat baiklah kepada keluarga kita. Penuhilah hak persahabatan kita kepada orang yang bersahabat demi kita.